Post Taumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang tejadi setelah seseorang mengalami kejadian yang traumatik. Trauma yang dialami dapat berupa trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, atau kecelakaan. Prevalensi dari gangguan ini sekitar 8-9% di Amerika, dan kondisi ini dua kali lipat lebih sering terjadi pada wanita.
Orang-orang yang beresiko tinggi terkena gangguan ini sangat berubungan dengan faktor kejadian traumatik, yaitu keparahannya, durasi, dan kemungkinan berulangnya kejadian traumatik tersebut. Sekitar 25-30% korban dari suatu kejadian traumatik akan mulai mengalami gejala-gejala PTSD; namun respon seseorang terhadap trauma bergantung dengan keparahan dan pengalaman subjektif terhadap kejadian tersebut. Pada pria, pengalaman yang dapat menyebabkan PTSD adalah pengalaman berperang atau menjadi saksi terhadap penyiksaan atau pembunuhan. Sedangkan pada wanita, pengalaman yang dapat menimbulkan PTSD adalah pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Kriteria diagnosis untuk PTSD adalah :
A. Penderita pernah mengalami kejadian traumatik, dimana muncul keadaan berikut :
1. Penderita pernah mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan pada suatu kejadian yang berhubungan dengan hal-hal yang, mengancam jiwa, cidera serius, kematian, atau ancaman integritas fisik.
2. Respon penderita terhadap kejadian tersebut berupa ketakutan yang terjadi terus menerus, merasa tidak berdaya, atau kengerian.
B. Kejadian traumatik tersebut secara menetap dialami kembali dengan cara 1 atau lebih berikut :
1. Berulang kali teringat kembali akan kenangan kejadian tersebut, dapat berupa gambaran, pikiran, atau persepsi
2. Berulang kali memimpikan kejadian tersebut
3. Merasakan atau berfikir seolah-olah kejadian tersebut berulang kembali (ilusi, halusinasi, atau flashback kejadian tersebut).
4. Distress psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan kejadian traumatik kejadian traumatik
5. Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan kejadian traumatik
C. Menghindari hal-hal yang berhubungan dengan trauma (minimal 3) ;
1. Menghndari untuk memikirkan, mengingat, atau membicarakan tentang trauma tersebut
2. Menghindari aktifitas, tempat atau orang-orang yang dapat membangkitkan kenangan tentang trauma tersebut
3. Tidak mampu untuk mengingat hal-hal penting yang berkaitan dengan trauma
4. Berkurangnya ketertarikan atau keikutertaan dalam aktifitas tertentu
5. Merasa dipisahkan atau diasingkan dar orang lain
6. Ekspresi emosi yang terbatas ( misalnya tidak dapat merasakan cinta)
7. Berpikiran sempit tentang masa depan ( misalnya : tidak berfiki untuk nantinya berkarir, menikah, atau punya anak).
D. Gejala yang menetap atau makin meningkat, minimal dua dari :
1. Gangguan tidur
2. Merasa kesal atau ingin mengamuk
3. Sulit berkonsentrasi
4. Hypervigilance / hyperallertness
5. Repons yang berlebihan
E. Durasi dari gangguan ( gejala B, C, dan D) udah berlangsung lebh dari 1 bulan
F. Gangguan tersebut berpengruh pada kehidupan sosial, pekerjaan, dan lain-lain
PTSD bisa menyebabkan kesehatan yang buruk melalui interaksi yang rumit antara mekanisme biologi dan psikologi. Studi tentang mekanisme ini dilaksanakan di National Center untuk PTSD dan pada laboratorium di seluruh dunia. Pemikiran saat ini adalah bahwa pengalaman trauma membawa perubahan neurochemical di otak. Perubahan tersebut bisa mempunyai efek biologi pada kesehatan, seperti:
- Rentan terhadap hipertensi dan atherosclerotic heart disease
- Tyroid yang tidak normal dan fungsi hormon lainnya
- Kecurigaan yang meningkat akan infeksi dan gangguan sistem kekebalan tubuh
- Permasalahan dengan persepsi rasa sakit, toleransi sakit, dan sindrom sakit kronis
- perubahan neurochemical yang berhubungan dengan ekspos trauma
PTSD juga bisa mempunyai efek psikologi dan perilaku yang kemudian dapat mempengaruhi kesehatan fisik, seperti :
- depresi
- Isolasi sosial dan gangguan dalam berhubungan dengan orang lain
- meningkatkan permusuhan dan kemarahan
- keterampilan penanganan yang salah
- meningkatnya konsumsi alkohol dan merokok
- kebiasaan makan yang salah
Untuk pemberian terapi dari PTSD ini memerlukan pendekatan secara multidimensi. Terapi yang diberikan dapat berupa edukasi pasien, dukungan sosial, dan terapi kecemasan, berupa psikoterapi dan psikofarmakologis. Edukasi pasien dan support sosial sangat penting dalam memulai intervensi untuk mengikutsertakan pasien dan mengurangi dampak dari kejadian trauma. Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat meningkatkan perasaan dimengerti dan dipahami, sehingga dapat mengurangi perasaan bersalah.
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu:anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor),
4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke -hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi .
Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban trauma . Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya. Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan .