Sabtu, 19 Februari 2011

Post Traumatic Stress Disorder

Post Taumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang tejadi setelah seseorang mengalami kejadian yang traumatik.  Trauma yang dialami dapat berupa trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, atau kecelakaan. Prevalensi dari gangguan ini sekitar 8-9% di Amerika, dan kondisi ini dua kali lipat lebih sering terjadi pada wanita.
            Orang-orang yang beresiko tinggi terkena gangguan ini sangat berubungan dengan faktor kejadian traumatik, yaitu keparahannya, durasi, dan kemungkinan berulangnya kejadian traumatik tersebut. Sekitar 25-30% korban dari suatu kejadian traumatik akan mulai mengalami gejala-gejala PTSD; namun respon seseorang terhadap trauma bergantung dengan keparahan dan pengalaman subjektif terhadap kejadian tersebut. Pada pria, pengalaman yang dapat menyebabkan PTSD adalah pengalaman berperang atau menjadi saksi terhadap penyiksaan atau pembunuhan. Sedangkan pada wanita, pengalaman yang dapat menimbulkan PTSD adalah pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Kriteria diagnosis untuk PTSD adalah :
A.     Penderita pernah mengalami kejadian traumatik, dimana muncul keadaan berikut :
1.      Penderita pernah mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan pada suatu kejadian yang berhubungan dengan hal-hal yang, mengancam jiwa, cidera serius, kematian, atau ancaman integritas fisik.
2.      Respon penderita terhadap kejadian tersebut berupa ketakutan yang terjadi terus menerus, merasa tidak berdaya, atau kengerian.
B.     Kejadian traumatik tersebut secara menetap dialami kembali dengan cara 1 atau lebih berikut :
1.      Berulang kali teringat kembali akan kenangan kejadian tersebut, dapat berupa gambaran, pikiran, atau persepsi
2.      Berulang kali memimpikan kejadian tersebut
3.      Merasakan atau berfikir seolah-olah kejadian tersebut berulang kembali (ilusi, halusinasi, atau flashback kejadian tersebut).
4.      Distress psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan kejadian traumatik kejadian traumatik
5.      Reaktifitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan kejadian traumatik
C.     Menghindari hal-hal yang berhubungan dengan trauma (minimal 3) ;
1.      Menghndari  untuk memikirkan, mengingat, atau membicarakan tentang trauma tersebut
2.      Menghindari aktifitas, tempat atau orang-orang yang dapat membangkitkan kenangan tentang trauma tersebut
3.      Tidak mampu untuk mengingat hal-hal penting yang berkaitan dengan trauma  
4.      Berkurangnya ketertarikan atau keikutertaan dalam aktifitas tertentu
5.      Merasa dipisahkan atau diasingkan dar orang lain
6.      Ekspresi emosi yang terbatas ( misalnya tidak dapat merasakan cinta)
7.      Berpikiran sempit tentang masa depan ( misalnya : tidak berfiki untuk nantinya berkarir, menikah, atau punya anak).
D.     Gejala yang menetap atau makin meningkat, minimal dua dari :
1.      Gangguan tidur
2.      Merasa kesal atau  ingin mengamuk
3.      Sulit berkonsentrasi
4.      Hypervigilance / hyperallertness
5.      Repons yang berlebihan
E.      Durasi dari gangguan ( gejala B, C, dan D) udah berlangsung lebh dari 1 bulan
F.      Gangguan tersebut berpengruh pada kehidupan sosial, pekerjaan, dan lain-lain
PTSD bisa menyebabkan kesehatan yang buruk melalui interaksi yang rumit antara mekanisme biologi dan psikologi. Studi tentang mekanisme ini dilaksanakan di National Center untuk PTSD dan pada laboratorium di seluruh dunia. Pemikiran saat ini adalah bahwa pengalaman trauma membawa perubahan neurochemical di otak. Perubahan tersebut bisa mempunyai efek biologi pada kesehatan, seperti:
- Rentan terhadap hipertensi dan atherosclerotic heart disease
- Tyroid yang tidak normal dan fungsi hormon lainnya
- Kecurigaan yang meningkat akan infeksi dan gangguan sistem kekebalan tubuh
- Permasalahan dengan persepsi rasa sakit, toleransi sakit, dan sindrom sakit kronis
- perubahan neurochemical yang berhubungan dengan ekspos trauma
PTSD juga bisa mempunyai efek psikologi dan perilaku yang kemudian dapat mempengaruhi kesehatan fisik, seperti :
- depresi
- Isolasi sosial dan gangguan dalam berhubungan dengan orang lain
- meningkatkan permusuhan dan kemarahan
- keterampilan penanganan yang salah
- meningkatnya konsumsi alkohol dan merokok
- kebiasaan makan yang salah
 Untuk pemberian terapi dari PTSD ini memerlukan pendekatan secara multidimensi. Terapi yang diberikan dapat berupa edukasi pasien, dukungan sosial, dan terapi kecemasan, berupa psikoterapi dan psikofarmakologis. Edukasi pasien dan support sosial sangat penting dalam memulai intervensi untuk mengikutsertakan pasien dan mengurangi dampak dari kejadian trauma. Dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat meningkatkan perasaan dimengerti dan dipahami, sehingga dapat mengurangi perasaan bersalah.
Ada dua macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi dapat berupa terapi obat hanya dalam hal kelanjutan pengobatan pasien yang sudah dikenal.
Pengobatan psikoterapi. Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu:anxiety management, cognitive therapy, exposure therapy .
Pada anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress (stresor),
4) assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.
Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati. Tujuan kognitif terapi adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.
Sementara itu, dalam exposure therapy para terapis membantu meng-hadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke -hidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara: exposure in the imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan; atau exposure in reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi .
Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD. Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.
Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam debriefing yang dipimpin oleh bidan. Cochrane didalam systematic reviews-nya merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban-korban trauma . Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan secara jelas manfaatnya. Meski begitu, Boyce dan Condon merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan .

  

Sistem Kesehatan nasional

Sistem kesehatan di Indonesia menurut saya adalah suatu pembahasan yang sangat rumit, namun mau tidak mau sebagai mahasiswa kedokteran yang tentu nantinya saya juga akan berperan dalam kesehatan di Indonesia, saya harus dapat memahami sistem tersebut dari sekarang. Oleh karena itu. Pada kesempatan ini saya akan membahas sedikit mengenai sistem kesehatan di Indonesia aja yang menjadi indikatornya. Berikut merupakan penjelasan mengenai Sistem Kesehatan Nasional yang saya peroleh dari suatu sumber:
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah sistem yang mengatur bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang memadukan berbagai upaya bangsa Indonesia dalam tujuan  guna menjamin tercapainya pembangunan kesehatan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945.
Dalam menjalankan SKN,perlu dipertimbangkan beberapa faktor determinan sosial, seperti:
1.       kondisi kehidupan sehari-hari,
2.      tingkat pendidikan,
3.      pendapatan keluarga,
4.      distribusi kewenangan,
5.      keamanan,
6.      sumber daya,
7.      kesadaran masyarakat, serta
8.      kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
Sistem Kesehatan Nasional disusun dengan memperhatikan pendekatan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar yang meliputi:
1.      Cakupan pelayanan kesehatan yang adil dan merata,
2.      Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada rakyat,
3.      Kebijakan pembangunan kesehatan, dan
4.      Kepemimpinan. SKN juga disusun dengan memperhatikan inovasi/terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan secara luas, termasuk penguatan sistem rujukan.
Sistem Kesehatan Nasional dibentuk dan dijalankan sesuai Landasan Hukum Maupun Ideologi. Adapun Landasan Sistem Kesehatan Nasional meliputi:
1.      Landasan Ideologi, yaitu Pancasila.
2.      Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945, khususnya: Pasal 28 A, 28 H ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 B ayat (2), Pasal 28 C ayat (1),
3.      Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKN dan pembangunan kesehatan.
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, dan Sinergisme (KISS), baik antar pelaku, antar subsistem SKN, maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKN. Dengan tatanan ini, maka sistem atau seluruh sektor terkait, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan perlu berperan bersama dengan sektor kesehatan untuk mencapai tujuan nasional.
Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Mengacu pada substansi perkembangan penyelenggaraan pembangunan kesehatan dewasa ini serta pendekatan manajemen kesehatan  tersebut di atas, maka subsistem Sistem Kesehatan Nasional meliputi:
1.      Upaya Kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi
bangsa Indonesia. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan, dan pemulihan.
2.      Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan yang kuat, terintegrasi, stabil, dan berkesinambungan memegang peran yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan pembangunan kesehatan.
3.      Sumber Daya Manusia Kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan 
sumber daya manusia kesehatan yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil dan merata, sesuai tututan kebutuhan pembangunan kesehatan.
4.      Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan
Meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin: aspek keamanan, kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang  kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.
5.      Manajemen dan Informasi Kesehatan
Meliputi: kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, hukum kesehatan, dan informasi kesehatan. Untuk menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna, diperlukan manajemen kesehatan.
6.      Pemberdayaan Masyarakat
Sistem Kesehatan Nasional akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat. Ini penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.

Disaster Victim Identification

Bagi para pecinta cerita misteri, pasti akan merasa sangat tertarik jika membahas mengenai proses identifikasi jenasah, yang jika dilakukan dengan benar maka dapat “menceritakan” bagaimana proses kematian para korban dan penyebab kematiannya. Nah, ternyata di Indonesia juga ada badan yang secara khusus menangani kegiatan yang disebut dengan DVI , tidak hanya ada di cerita-cerita novel atau pun film saja.

Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana  yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan. Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme. Dapat diterapkan terhadap bencana dengan jumlah korban dan skala kecil serta dapat pula diterapkan terhadap insiden lainnya dalam pencarian korban.
Adapun sejarah dilakukannya DVI ini adalah sebagai berikut
Telah banyak peristiwa bencana massal yang terjadi di Indonesia, baik itu merupakan bencana alam maupun akibat kelalaian manusia telah ditangani oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun dari bantuan pihak-pihak lain. Indonesia pernah tercatat juga sebagai negara terjadinya letusan super-vulcano yang menurut sejarahnya yaitu di Danau Toba yang kini terletak di Propinsi Sumatera Utara yang dulunya adalah merupakan sebuah gunung berapi yang kemudian meletus dengan kekuatan vulkanik terbesar dalam dua juta tahun terakhir. Meletusnya gunung Tambora di Pulau Sumbawa tahun 1815 dan gunung Krakatau tahun 1885 juga telah tercatat dalam sejarah bencana di Indonesia yang menelan korban ratusan ribu jiwa. 
Peristiwa terbakar dan tenggelamnya kapal Tampomas II di perairan Masalembo tanggal 27 Januari 1981 yang dinakhodai oleh Kapten Rivai kiranya dapat dijadikan momen yang cukup bersejarah, dimana ratusan korban mati yang ditemukan telah dipilih dengan berdasarkan jenis kelamin dan umur secara kasar untuk memudahkan “identifikasi” oleh keluarganya. Begitu pula dengan peristiwa kecelakaan jatuhnya pesawat Mandala RI 660 di Ambon yang menelan korban sebanyak 70 korban mati juga telah dicoba untuk dilakukan ’identifikasi’ oleh personel Dokkes Polri (Mayor Pol Dr. Jaya Atmaja, saat ini Sespusdokkes Polri).  Namun demikian peristiwa bencana tersebut hanya dilakukan identifikasi secara sederhana dan belum menerapkan prinsip standar identifikasi Interpol yang dikenal sekarang. Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober 2002 dimana terdapat korban mati sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir 99 % yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa kasus-kasus bencana di Indonesia dimana prosedur DVI telah diterapkan antara lain pada peristiwa Bom Bali I – Oktober 2002, Bom Hotel JW Marriott Jakarta – Agustus 2003, Tragedi Terbakarnya Bis di Situbondo, Jatim-Oktober 2003, Bom di Kedubes Australia Jakarta – September 2004,  Tsunami dan Gempa Bumi di Aceh dan Nias – Desember 2004 s/d Januari 2005, Bom Bali II – Oktober 2005, Kecelakaan Pesawat Mandala Airlines, Medan – September 2005, Peristiwa Penangkapan DR. Azahari Batu Malang – November 2005, Peristiwa Penangkapan Teroris di Wonosobo – April 2006, Gempa Bumi di Yogya dan Jateng – Mei 2006 dan Tsunami di Pangandaran-Juli 2006, Kecelakaan pesawat Adam Air – Januari 2007, Kecelakaan KM Senopati, KM Tristar dan KM Levina, Kecelakaan pesawat Garuda – 2007, Jatuhnya pesawat TNI AU di Bogor - 26 Juni 2008, Kasus pembunuhan berantai oleh Ryan - Juli 2008, Tenggelamnya KM Teratai Prima di perairan Sulawesi Barat  - Januari 2009, Penanganan Kasus Kebakaran Hutan di Victoria.

Manajemen Korban meninggal pada Bencana Massal
Step 1 : di TKP
            Tujuannya : 1. Mengamankan TKP dengan “police line”
         2.  Mengumpulkan benda-benda yang mungkin berkaitan denngan korban dan evakuasi korban
3. Dokumentasi berupa fotografi TKP dan korban, kemudian pemberian label
Step 2 : Unit post Mortem
1.      Pengumpulan data Post-Mortem :
a.       Fotografi
b.      Hasil pemeriksaan medis
c.       Sidik jari
d.      Hasil Rontgen
e.       Odontologi Forensik
f.       Pengambilan sampel DNA
2.      Pencegahan perubahan data Post Mortem
Step 3 ; unit Ante Mortem
1.      Pengumpulan data Ante-Mortem, oleh keluarga
2.      Analisis data
3.      Penyimpulan
Step 4 : pembandingan dan Rekonsiliasi
Proses identifikasi yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari para ahli:
1.      Forensik patologi
2.      Dokter gigi
3.      Sidik jari
4.      Pencocokan dngan property
5.      Fotografi
Step 5 :
1.      Perawatan dan rekonstruksi korban sebelum dikembalikan kepada keluarga
2.      Pengurusan medico-legal dan administrasi ( sertifikat  dan asuransi)
Yang paling penting dalam identifikasi korban adalah keTEPATannya bukan keCEPATannya. Dalam identifikasi korban, seorang korban sudah dapat dipastikan identitasnya apabila telah ditemukan kecocokan pada 2 data primer, atau ditemukan kecocokan pada 1 data primer dan 2 sekunder. Adapun data primer dan sekunder adalah :
  1. Primer
      a. Sidik jari
      b. profil gigi
      c. DNA
  1. Sekunder
      a. Visual
      b. fotografi
      c. properti
d. medik-antropologi

Bencana..bagaimana memanagemennya?????

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia,jumlah penduduk terbanyak no 3 didunia,dan Indonesia adalah negara dengan 2/3 wilayahnya adalah air tidak hanya itu 1/3 wilayah daratnya terdapat puluhan gunung api yang aktif dan Indonesia berada di lempeng pasifik yang artinya daerah gempa.
Oleh karena fakta diatas Indonesia sering terjadi bencana alam yang hebat dan tidak jarang bencana tersebut menelan banyak sekali korban.Sehingga perlu disusun suatu system untuk persiapan respon dan recovery.

PREPAREDNESS
Preparedness disini adalah langkah awal untuk persiapan disaat belum terjadi bencana atau disaat keadaan masih cukup aman,sehingga preparedness ini adalah langkah yang sudah disiapkan jauh jauh hari. Preparedness meliputi 3 hal :
  •  Predisaster management


Predisaster yang dimaksud disini adalah mengurangi kerugian harta benda apabila terjadi disaster dan memastikan kerugian seminimal mungkin disaat ada bencana
  • Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan artinya adalah menyiapkan segala kemungkinan apabila terjadi suatu bencana yaitu rencana evakuasi,rencana penyelamatan korban jiwa dan lain sebagainya.Hal ini dilakukan supaya meminimalisir baik korban jiwa maupun harta.
  • Mitigasi

Mitigasi adalah langkah langkah dan upaya untuk mengurangi skala bencana di masa depan sebagai contoh : membangun rumah tahan gempa untuk didaerah yang dilalui lempeng pacific atau mengosongkan daerah radius tertentu dari gunung berapi untuk tidak dijadikan tempat bermukim,pembuatan irigasi didaerah yang rawan bencana kekeringan dsb.

RESPON
Respon pada situasi bencana dapat diartikan sebagai tanggap bencana,yang memiliki definsi segala sesuatu yang dilakukan dengan segera yang berguna unutuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
Hal hal yang dilakukan meliputi :
· 1.Penyelamatan dan evakuasi harta benda
· 2.Pemenuhan kebutuhan dasar ( MCK,makanan,tempat tinggal,air bersih dsb)
· 3.Perlindungan ( contoh : perlindungan keamanan)
· 4.Pengurusan pengungsi ( mencakup pemenuhan kebutuhan tubuh,jiwa,dan rohani)

RECOVERY
Tahap recovery adalah tahap akhir,recovery artinya mengembalikan segala bentuk kerusakan baik dari segi jasmani dan rohani untuk kembali ke keadaan normal.Recovery sendiri memiliki 2 tahap yang harus dilakukan secara urut yaitu :
  • Rehabilitasi :

Rehabilitasi adalah pemulihan keadaan dari tingkat yang paling mendasar sampai ke tingkat yang tinggi,upaya rehabilitasi bertujuan untuk normalisasi keadaan dengan adanya pemulihan system pemerintahan,dan pengembalian kehidupan masyarakat didaerah pasca bencana. 

  • Rekontruksi :


Setelah melakuakan rehabilitasi keadaan dari tingkat yang dasar kemudian dilakukanlah rekontruksi,yaitu pembangunan kembali sarana prasarana ,kelembagaan baik dari tingkat pemerintah sampai tingkat masyarakat dengan tujuan untuk tercapainya pemulihan keadaan perekenomian,sosial,budaya,tegaknya hukum dan bangkitnya semua aspek kehidupan masyarakat pada daerah pasca bencana
Dengan adanya sistem preparedness,response,dan recovery di Indonesia,akan membuat Indonesia lebih siap apabila terjadi bencana dan dapat ditangani dengan cepat sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.

Sistem Pembayaran Jasa Pelayanan Dalam Dunia Kesehatan

Saat ini sistem kesehatan di Indonesia terus-menerus melakukan inovasi dan pembaharuan karena dunia kedokteran merupakan dunia yang selalu dinamis ditambah lagi kebutuhan manusia akan kesehatan semakin lama semakin besar sehingga sistem yang konvensional yang terus dipertahankan terkadang sudah tidak dapat lagi memenuhi tuntutan zaman yang terus bergerak. Banyak isu mengenai dunia kesehatan Indonesia diantaranya globalisasi dalam kesehatan, masalah ketidakmerataan pelayanan dan tenaga kesehatan di Indonesia, sistem pembayaran kesehatan Indonesia yang mahal dan sistem coverage Indonesia terhadap kesehatan rakyatnya yang sangat lemah.
Yang sering menjadi sorotan dalam masalah kesehatan Indonesia antara lain mengenai sistem pembayaran jasa kesehatan di Indonesia yang semakin lama semakin mahal. Selain karena dampak asuransi dari pemerintah yang sangat-sangat kecil dan kurang, ditambah lagi semakin berjayanya sektor privat/swasta yang memasuki area kesehatan. Sistem kontrol yang lemah yang mengatur semuanya itu juga memberi kontribusi terhadap mahalnya jasa pelayanan kesehatan Indonesia.
Sebenarnya mahalnya jasa pelayanan kesehatan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan cara pembayaran gaji dokter (tenaga kesehatan yang lebih akan dibahas disini adalah dokter). Bagaimana saja cara-cara pembayaran gaji dokter yang ada di Indonesia?Berikut adalah beberapa sistem yang ada diterapkan di Indonesia. Antara lain:
1. Fee for Service (Out of pocket)
Maksud dari sistem pembayaran ini adalah setiap dokter mendapatkan gajinya berdasarkan pelayanan yang dia berikan kepada pasiennya. Misalnya saja ada pasien datang, maka dokter akan mendapatkan jasa pelayanan. Kalau kemudian dokter melakukan penyuntikan maka dokter akan mendapatkan jasa dari penyuntikan tersebut. Kalau dokter meresepkan obat pada pasien maka dokter akan mendapatkan uang dari hasil pemberian resep dokter tersebut. Kalau dokter melakukan operasi maka dia akan mendapatkan jasa dari operasi yang telah dilakukannya. Kalau dokter visite, maka juga akan mendapatkan penghasilan tambahan dari jumlah visitenya.
2. Sistem pembayaran kapitasi
Maksud sistem pembayaran ini adalah sistem pembayaran yang prospektif dimana dokter yang memegang sejumlah besar penduduk akan mendapatkan bayaran dari penduduk yang dipegangnya dalam jangka waktu tertentu (biasanya dibayar per bulan) walaupun penduduk tersebut sakit maupun tidak sakit. Misalnya dokter A memegang sebanyak 1000 orang dalam suatu rentang wilayah dan tiap orang tiap bulannya membayar premi kepada dokter sejumlah Rp. 10.000,--. Maka tiap bulan dokter tersebut akan mendapatkan uang sebesar Rp. 10.000.000. Namun 1000 orang yang dipegangnya tersebut bebas datang ke praktik dokter tersebut apakah konsultasi atau pengobatan tanpa melihat jumlah dia berobat. Istilahnya adalah setiap pengobatan kepada pasien ditangung oleh dokter tersebut dengan menggunakan uang premi tadi. Nah sisa tiap bulan yang tidak digunakan oleh dokter akan menjadi gaji dokter tersebut. Tentu saja kasus-kasus yang akan ditangani tidak semuanya dan ada kontrak tersendiri. Sistem pembayaran ini adalah sistem pembayaran yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia sekarang dan dipakai biasanya dalam sistem asuransi.

Dua sistem diatas merupakan sistem pembayaran jika dokter tersebut membuka praktik pribadi. Lalu bagimana jika dokter tersebut bekerja di rumah sakit??Bagaiamanakah sistem pemasukan yang akan diterima rumah sakit??Sebenarnya intinya adalah sama saja. Ada 2 juga yaitu:
1. Fee for Service/Out of Pocket
Dimana rumah sakit mendapatkan pemasukan dari pelayanan yang dia berikan. Misalnya pelayanan rawat inap, jasa pemeriksaan lab, pembelian obat di apotek rumah sakit tersebut, dsb.
2. Diagnosis Related Group
Pada sistem ini pembayaran dilakukan dengan melihat penyakit yang dialami pasien. Jadi sudah ditentukan jika seorang pasien didiagnosis penyakit A misalnya maka akan di plot (misalnya) dengan harga 5 Juta. Itu sudah include semua biaya mondoknya, makan, obat-obatan , dsb. Jika jumlah itu kurang maka dana lebihnya akan ditanggung dan dibayar rumah sakit sendiri dan misalnya jika jumlah itu berlebihan maka sisanya akan masuk sebagai pendapatan rumah sakit.

Lalu bagaimana implementasinya dalam praktik kedokteran sehari-hari di Indonesia??
1. Pada sistem fee for service/Out of pocket, merupakan cara yang paling banyak diterapkan di Indonesia saat ini. Kalau dibilang kenapa sangat banyak diterapkan karena memang dengan cara ini dokter akan mampu mendapatkan gaji yang tidak pernah terbatas. Jika dokter tersebut memliki jumlah pasien banyak dan semakin menambah pelayanan yang dia sediakan maka dia akan semakin mendapatkan banyak pemasukan. Lalu bagaiamana dampaknya?Sudah dapat dipikirkan secara logika bahwa untuk mendapatkan pemasukan sebanyak-sebanyaknya dokter akan berusaha memperbanyak pelayanan yang dia berikan walaupun pelayanan tersebut sebenarnya tidak perlu diterima pasien tersebut.
2. Pada sistem kapitasi; sebenarnya sistem ini sangat baik namun banyak ditentang di Indonesia bahkan oleh profesi dokter sendiri!!Mengapa??karena dengan sistem ini, dokter tak dapat mencari pendapatan yang sebanyak-banyaknya. Sebenarnya secara manusiawi, pendapatan dokter dengan cara ini sudah sangat amat cukup, namun yang namanya manusia pasti ingin pendapatan lebih banyak lagi dan tidak akan pernah puas. Lalu jika melakukan sistem ini apa kemungkinan pelencengan yang terjadi??Yap cara agar mendapatkan pendapatan yang besar adalah dengan cara sesedikit mungkin memberikan pelayanan kesehatan dan akan terjadi underservice yaitu dokter akan mengurangi jumlah pelayanannya agar mendapatkan pendapatan yang sebesar-besarnya. Selain itu adalah karena sistem dan biaya kesehatan Indonesia yang kecil sehingga coverage per orang yang diberikan pemerintah sangat kecil sehingga pendapatan yang akan didapatkan dokter dengan sistem kapitasi juga akan sangat kecil dan menjadi kurang terkenal dan kurang diminati di kalangan dokter Indonesia. Dari hasil penelitian bahwa jika dokter ingin mendapatkan penghasilan yang layak dengan sistem kapitasi maka ia minimal harus mengcover minimal 600 orang. Nah masalah pembagian jumlah orang yang akan dicover belum tertata dengan baik dan masih kebanyak dibawah 400 orang sehingga tidak menarit minat dokter untuk memakain sistem ini.

Lalu sebenarnya bagaimana sih cara pembayaran dokter yang ideal dan berapa gaji dokter yang ideal??Bagaimanakah pembayaran yang pantas bagi dokter??
Sebenarnya sistem kapitasi merupakan sistem yang paling ideal mengenai sistem pembayaran dokter secara umum. Karena dokter dalam hal ini akan dianggap sama seperti profesinya yang lainnya yaitu dokter memiliki pendapatan yang tetap per bulan. Selain itu dengan sistem kapitasi maka dokter akan berusaha melakukan kegiatan promotif preventif daripada kuratif. Dari segi martabat sendiri, dokter dengan sistem ini tidak sama seperti pedagang atau yang lainnya yang jika pelanggannya sedikit maka penghasilannya sedikit dan jika pelanggannya banyak, maka pendapatannya juga banyak. Dengan sistem kapitasi, berapapun pasien yang datang makan dokter sudah mendapatkan income yang tetap. Kemudian dari sisi dokter sendiri bahwa dengan sistem kapitasi akan sangat banyak waktu bagi dokter untuk beristirahat dan melakukan kegiatan lainnya diluar praktik karena dokter tidak akan terpengaruh jumlah pasien sehingga tidak akan takut-takut kehilangan pasien, dokter memiliki waktu refreshing, beban kerja sedikit, banyak waktu dengan keluarga, ddb.
Kalau kita menilik Singapura sendiri, disana mereka menjamin dokter-dokter untuk dapat membiayai 1 istri, membiayai 2 anak, mendapatkan apartemen dengan fasilitas 3 kamar, mendapat 1 kendaraan beroda 4 dan berlibur 1 bulan sekali bersama keluarga. Hal yang wajar diterima bagi seorang dokter. Tapi masalahnya di Indonesia adalah masyarakat masih memiliki budaya untuk fee for service dan masih belum tersosialisasi tentang sistem kapitasi ini sehingga susah untuk menjaring masyarakat mau ikut. Belum lagi bahwa aturan praktik di Indonesia belum memiliki aturan yang jelas sehingga coverage area yang akan dibebankan kepada seorang dokter sulit untuk ditentukan dan akan sangat mungkin sekali bertabrakan. 
Jika ditilik secara detail lagi bahwa sistem kapitasi ini sendiri memiliki syarat-syarata tertentu dan salah satunya adalah akses ke pelayanan kesehatan yang baik. Karena Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga akan ada masyarakat yang terpencar dalam pulau-pulau dan jika dicover oleh satu dokter dan mengikuti aturan minimal 600 orang maka akan sangat susah beberapa masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan sehingga mau tidak mau jika dalam area coveragenya adalah daerah kepulauan maka sistem yang digunakan adalah sistem fee for service.

Apa kesimpulannya??
1. Sistem yang ideal bagi Indonesia mengenai pembayaran dokter adalah disesuaikan dengan kondisi geografis dan akses pelayanan kesehatan sendiri. Kalau misalnya daerah jawa yang sudah sangat mudah dan merata mendapatkan akses kesehatan maka akan sangat memungkinkan dilakukan sistem kapitasi. Namun jika kita melihat kondisi geografis dan akses yang sulit maka mau tidak mau harus dilakukan sistem fee for service.
2. Pemerintah dalam hal ini perlu mensosialkisasikan sistem kapitasi ini sehingga masyarakat mengerti dan mau menerapkan sistem ini. Karena sistem ini adalah sistem prospektif dan sebagian penduduk Indonesia masih tabu dalam hal pembayaran di muka maka sosialisasi pemerintah akan sangat diperlukan.
3. Sistem kapitasi akan sangat mudah diterapkan jika ketersediaan tenaga kerja kesehatan sendiri sudah merata dan akan lebih mudah lagi apabila akses ke segala penjuru Indonesia menjadi mudah. Konsekuensinya adalah pemerintah harus berusaha keras dalam melakukan pembangunan tiap-tiap daerah bukan hanya dari kesehatan saja tetapi juga dalam bidang-bidang lainnya.
4. Baik sistem fee for service maupun sistem kapitasi membutuhkan regulasi dan sistem kontrol ketat untuk dapat menjaga dan menjamin mutu karena kemungkinan fee for service adalah overservice dan kemungkinan buruk kapitasi adalah underservice/low quality
5. Pemerintah sendiri perlu mengusahakan agar biaya coverage pada tiap orang itu besar dan pembagian dalam area coverage dokter besar dan jelas sehingga dapat menarik minat dokter untuk menerapkan sistem ini.
6. Bagi para dokter sendiri diharapkan agar dapat menjaga kualitas pelayanan dan tidak hanya berorientasi pada uang. Diharapkan juga agar membantu pemerintah dalam hal sosialisasi sistem kapitasi ini.
7. Networking antar dokter-asuransi-rumah sakit harus dapat tertata dengan baik demi sistem referral yang baik karena sistem kapitasi ini pada nantinya akan sangat erat kaitannya dengan sistem perujukan.